Troll 2
Troll 2

Review Film Terbaru Berjudul Tentang Troll 2

Review Film Terbaru Berjudul Tentang Troll 2. Awal Desember 2025 langsung diramaikan oleh gelombang monster dari utara: Troll 2, sekuel ambisius yang tayang di layar lebar digital pada 1 Desember. Disutradarai oleh Roar Uthaug, yang kembali dari film pertamanya tahun 2022, petualangan berdurasi 102 menit ini melanjutkan kisah Nora Tidemann, sang penjinak troll, saat seekor raksasa kuno bangkit lagi, mengancam kehancuran di pegunungan Norwegia. Bersama Andreas Isaksen dan Kristoffer Holm, Nora harus berhadapan dengan makhluk baru yang haus balas dendam, sementara tim rahasia pemerintah bereksperimen dengan troll lain yang ternyata jadi sekutu tak terduga.

Film ini, produksi terbesar sepanjang sejarah negara Nordik, memadukan mitologi Norwegia dengan aksi kaiju ala Hollywood—bayangkan troll raksasa saling gebuk di tengah salju dan gua gelap. Dirilis tepat tiga tahun setelah prekuelnya yang pecah rekor sebagai film hollywood non-bahasa Inggris terpopuler, Troll 2 langsung dapat skor 64% di Rotten Tomatoes, campuran pujian atas ledakan aksinya dan kritik soal plot yang terlalu familiar. Apakah ini cukup untuk ulangi keajaiban dulu, atau sekadar bayang-bayang yang pudar? Kita kupas satu per satu.

Alur Cerita Film Troll 2 yang Bergejolak Tapi Familiar

Cerita dimulai dengan kilas balik ke masa kecil Nora, mendengar dongeng ayahnya tentang Raja Olaf yang membantai troll, sebelum lompat ke masa kini di mana obsesi Nora terhadap mitos membuatnya terisolasi. Andreas datang dengan proyek rahasia: eksperimen pada troll yang ditangkap, yang malah memicu kebangkitan makhluk lebih ganas. Troll ini, lebih kuat dari pendahulunya, mulai melahap korban di klub malam Oslo sebelum mengejar legenda kuno, memaksa tim Nora berlari-lari di gua seperti petualangan Indiana Jones versi dingin.

Alur ini penuh twist ringan, seperti troll kedua yang bergabung sebagai sekutu, tapi sering terasa labored—seperti formula kaiju yang sudah usang, echo dari Godzilla atau Transformers. Klimaks pertarungan raksasa di pegunungan Norwegia memang epik, dengan kehancuran kota yang bikin deg-degan, tapi setup-nya panjang dan prediktabel, penuh momen stereotip seperti ilmuwan ceroboh yang memicu bencana. Mid-credit scene bahkan sudah siapkan benih untuk film ketiga, menjanjikan misteri lebih dalam. Meski begitu, ritme cepatnya menjaga penonton tetap hooked, meski tak secerdas film pertama yang bikin mitos Norwegia terasa segar.

Penampilan Aktor Troll 2 yang Solid di Tengah Kekacauan

Para pemeran kembali dengan komitmen tinggi, meski beban cerita kadang bikin mereka terlihat lelah. Ine Marie Wilmann sebagai Nora brilian lagi: matanya yang penuh kerinduan mitos campur ketakutan nyata, terutama saat berbisik ke troll sekutu seperti sahabat lama. Kim Falck-Jørgensen sebagai Andreas tambah dimensi, dari geek antusias jadi pahlawan ragu-ragu, dengan dialog sarkastik yang selamatkan momen tegang. Mads Sjøgård Pettersen sebagai Kristoffer Holm beri aksi tangguh, gerakannya lincah di adegan lari dari runtuhan gua.

Penambahan Sara Khorami sebagai ilmuwan misterius dan Gard B. sebagai petarung kasar bawa energi baru—Khorami khususnya mencuri scene dengan tatapan tajam yang sembunyikan rahasia gelap. Troll-trollnya, lewat suara serak dan geraman CGI, terasa hidup meski tak punya dialog rumit. Chemistry tim terasa autentik, penuh banter Norwegia yang hangat di tengah dingin pegunungan, tapi beberapa adegan emosional terasa kurang dalam, seperti Nora yang trauma tapi tak dieksplorasi penuh. Secara keseluruhan, akting ini penyelamat, bikin karakter manusiawi di dunia monster yang absurd.

Visual dan Suara yang Menghancurkan Layar

Secara teknis, Troll 2 adalah pesta kehancuran yang memanjakan mata, syuting di Norwegia dan Budapest untuk skala epik. Efek CGI troll raksasa mulus di klimaks—kulit berbatu yang retak, mata merah menyala, dan bentrokan badan yang bikin tanah berguncang terasa nyata, mirip kaiju blockbuster. Pemandangan fjord beku dan gua kristal yang runtuh jadi latar visual memukau, dengan cahaya remang yang ciptakan atmosfer mistis. Tapi, beberapa efek awal terlihat dated, seperti troll yang gerakannya kaku di scene klub malam, bikin immersion terganggu.

Suara dan musiknya, komposisi orkestra yang membengkak saat pertarungan, tambah intensitas—deru angin pegunungan campur raungan troll bikin speaker bergetar. Lagu pengantar Norwegia dari masa kecil Nora beri sentuhan folk yang menyentuh, kontras dengan ledakan bass di aksi. Editing tajam jaga pacing, meski durasi 102 menit kadang terasa panjang di bagian eksplorasi gua. Produksi ini bukti ambisi Nordik: bukan hanya monster movie, tapi homage visual ke mitos lokal yang bercampur Hollywood.

Kesimpulan

Troll 2 tak sepenuhnya ulangi keajaiban prekuelnya, tapi tetap jadi tontonan seru bagi penggemar kaiju yang haus aksi raksasa di salju Norwegia. Dengan alur yang bergolak meski familiar, akting solid yang jaga hati, dan visual menghancurkan yang selamatkan hari, film ini raih status fresh meski campur aduk—64% di Rotten Tomatoes bukti potensinya, walau kritik sequelitis tak bisa diabaikan.

Bagi yang suka monster myth dengan ledakan besar, ini layak streaming akhir pekan. Ia ingatkan bahwa troll tak hanya soal gigit, tapi juga cerita balas dendam yang abadi. Saat layar gelap, sisa rasa penasaran: apakah troll ketiga akan lebih Norwegia, atau tetap ikut arus Hollywood? Sukses global prekuelnya beri harapan—mungkin ini baru awal saga dingin yang bikin bergidik.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *