Review Film Dancing Village: The Curse Begins. Film “Dancing Village: The Curse Begins” masih jadi topik hangat di kalangan penggemar horor, meski sudah lebih dari setahun sejak rilisnya pada April 2024. Sebagai prequel dari kisah sukses sebelumnya, durasi 122 menit ini disutradarai Kimo Stamboel dan mengajak penonton ke Desa Penari yang misterius, di mana ritual tarian kuno menyimpan kutukan abadi. Cerita berpusat pada Mila, gadis yang kembali ke desa ibunya untuk mengembalikan gelang mistis demi selamatkan nyawa sang ibu dari penyakit aneh. Dibintangi Maudy Effrosina sebagai Mila dan Aulia Sarah sebagai entitas jahat Badarawuhi, film ini campur aduk antara slow-burn suspense dan ledakan ritual gelap. Dengan rating rata-rata 5.7, ia dipuji atas atmosfer mencekam tapi dikritik karena pacing lambat dan trope horor yang sudah usang. Di era horor Asia yang lagi naik daun, film ini tawarkan sentuhan folklore Indonesia yang bikin penasaran, meski tak selalu bikin merinding sekuat harapan. MAKNA LAGU
Sinopsis yang Menggali Kutukan Tarian: Review Film Dancing Village: The Curse Begins
Mila, didorong ramalan dukun, berangkat ke desa terpencil di hutan Jawa bareng sepupu Yuda dan dua sahabatnya. Mereka tiba di Desa Penari, tempat warga hidup dalam isolasi, dikuasai ritual tarian yang seolah tak berujung. Gelang yang dibawa Mila ternyata peninggalan kutukan dari 1955, saat sekelompok penari muda mengorbankan salah satu dari mereka untuk Badarawuhi, roh haus darah yang mengendalikan desa lewat ilusi dan kepemilikan. Saat Mila bertemu Ratih, tuan rumah yang ibunya juga sakit sama, rahasia mulai terkuak: desa ini bukan sekadar kampung, tapi labirin jiwa-jiwa terperangkap yang dipaksa menari abadi di alam gaib. Konflik memuncak saat Badarawuhi muncul dalam wujud wanita memikat tapi mematikan, memaksa Mila pilih antara selamatkan ibu atau hancurkan siklus kutukan. Sinopsis ini tak hanya soal hantu, tapi renungan soal pengorbanan tradisi yang jadi belenggu, meski alurnya kadang terasa bertele-tele di paruh awal.
Performa Aktor yang Campur Aduk: Review Film Dancing Village: The Curse Begins
Maudy Effrosina sebagai Mila tampil solid, membawa rasa penasaran dan ketakutan yang alami saat ia selami rahasia desa. Ekspresinya di adegan mandi dikelilingi ular atau konfrontasi dengan visi Badarawuhi terasa autentik, meski karakternya kadang kurang kedalaman emosional. Aulia Sarah sebagai Badarawuhi curi perhatian; ia ubah roh jahat jadi sosok sensual sekaligus mengerikan, dengan tatapan yang bikin bulu kuduk berdiri dan gerakan tarian yang hipnotis. Jourdy Pranata sebagai Yuda beri warna pendukung yang tegas, sementara Claresta Taufan Kusumarina sebagai Ratih jadi sorotan terbaik—ia gambarkan dilema ibu-anak dengan nuansa pengkhianatan yang menyayat. Pemeran sahabat Mila seperti Ali Fikry dan Kevin Kambey tambah dinamika grup, tapi chemistry mereka terasa datar di momen-momen tegang. Secara keseluruhan, performa ini angkat cerita dari biasa jadi agak berkesan, walau tak ada yang benar-benar standout.
Produksi dan Elemen Horor yang Atmosferik
Kimo Stamboel unggul di visual: sinematografi tangkap keindahan hutan lebat dan desa terisolasi dengan sudut gelap yang ciptakan rasa klaustrofobia, terutama di ritual tarian malam hari. Musik latar campur gamelan tradisional dan suara desisan angin bangun ketegangan pelan, tanpa andalkan jumpscare berlebih—meski adegan ular di kolam renang atau transformasi dukun jadi anjing hitam tetap bikin jantung berdegup. Editing rapi di paruh kedua, tapi paruh pertama lambat banget, hampir dua jam baru klimaks, bikin sebagian penonton gelisah. Elemen folklore Jawa seperti pengorbanan penari dan roh penari abadi beri rasa fresh, soroti bagaimana tradisi bisa jadi sumber teror modern. Minusnya, CGI di bagian transformasi terasa mentah, dan beberapa trope seperti dukun licik atau desa rahasia terlalu klise. Produksi ini bukti horor Indonesia lagi matang, tapi masih butuh kejutan lebih untuk saingi tetangga Asia.
Kesimpulan
“Dancing Village: The Curse Begins” adalah prequel yang lumayan untuk penggemar horor lambat, dengan atmosfer tebal dan sentuhan budaya yang kaya, meski pacingnya uji kesabaran dan ceritanya tak selalu inovatif. Kekuatannya ada di visual mencekam dan penampilan Badarawuhi yang ikonik, bikin film ini layak ditonton di malam gelap—terutama bagi yang penasaran asal kutukan Desa Penari. Lebih dari setahun kemudian, ia masih sering dibahas sebagai jembatan ke film aslinya, tapi berdiri sendiri pun cukup menghibur. Bagi yang suka “Suspiria” dengan rasa lokal, ini pas; siapkan saja ekspektasi untuk slow-burn yang lebih banyak mikir daripada teriak. Pada akhirnya, film ini ingatkan bahwa tarian bisa indah, tapi kalau kutukan ikut bergoyang, lebih baik jangan ikut joget.

