Review Film Rambo III. Rambo III rilis Mei 1988 dengan budget terbesar di seri waktu itu (63 juta dolar) dan langsung jadi film action termahal yang pernah dibuat. Kali ini Rambo pindah arena dari Vietnam ke Afghanistan, lawan Tentara Soviet, dan bikin satu orang hancurkan seluruh divisi tank. Film ini puncak kegilaan 80-an: lebih besar, lebih bodoh, dan lebih patriotik daripada sekuel sebelumnya, tapi juga yang paling sering diketawain orang sekarang. BERITA BOLA
Rambo Pensiun, Tapi Nggak Lama: Review Film Rambo III
Film dibuka dengan Rambo hidup tenang di kuil Buddha Thailand, main tongkat dan bantu biksu bangun vihara. Dia sudah “move on”. Tapi begitu Kolonel Trautman ditangkap Soviet di Afghanistan, Rambo langsung balik mode mesin pembunuh. Satu kalimat klasik “I’m coming to get you” langsung bikin penonton tahu: damai cuma sementara. Perjalanan ke Afghanistan penuh ledakan, kuda, dan tentu saja badan Stallone yang sekarang lebih besar dari pintu.
Aksi yang Sudah Melewati Batas Logika: Review Film Rambo III
Di sini Rambo benar-benar jadi superhero. Dia:
- Cabut anak panah yang menancap di perutnya sendiri sambil teriak
- Bakar tentara Soviet hidup-hidup pakai panah api
- Naik helikopter yang lagi terbang, lompat ke tank, lalu hancurkan tank lain pakai tank itu
- Lawan satu lawan satu kolonel Soviet di akhir sambil helikopter meledak di belakang
Semua dilakukan dengan ekspresi datar dan satu-dua kalimat. Adegan paling absurd? Rambo operasi diri sendiri di gua pakai mesiu untuk nutup luka. Realisme sudah resmi ditinggal di film sebelumnya.
Politik yang Berubah Drastis
Lucunya, waktu rilis 1988, film ini dukung mujahidin Afghanistan karena mereka lawan Soviet, Amerika malah kasih senjata ke kelompok yang sama. Dedikasi akhir film “To the gallant people of Afghanistan” jadi salah satu momen paling awkward di sejarah Hollywood belakangan, apalagi setelah 2001. Tapi di 1988, penonton Amerika tepuk tangan keras saat Rambo bikin bendera Soviet robek-robek.
Warisan yang Campur Aduk
Rambo III adalah film Rambo yang paling banyak dikutuk kritikus (dapat 0% di beberapa situs awal) tapi tetap untung besar di box office. Ini jadi puncak “satu orang lawan satu negara” sebelum genre ini mulai di-parodi. Lagu tema “He Lives in You” dan montase kuda di padang pasir masih epik, tapi sekarang lebih sering jadi meme daripada ditonton serius.
Kesimpulan
Rambo III adalah kartun live-action dengan otot besar dan otak kecil. Kalau kamu suka film pertama karena dramanya atau film kedua karena aksinya, yang ini cuma buat yang pengen matiin logika dua jam dan lihat Stallone hancurkan helikopter pakai batu. Film ini nggak bagus dalam arti klasik, tapi sangat jujur jadi dirinya sendiri: bodoh, berisik, dan bangga akan itu. Di 2025, tonton sambil ketawa atau nostalgia 80-an yang nggak masuk akal, keduanya sama valid. What you see is what you get: Rambo terbesar, terkonyol, dan paling 1988 yang pernah ada. Mission accomplished? Mungkin terlalu accomplished.

