Review Film: The Classic (2003)
Review Film: The Classic (2003)

Review Film: The Classic (2003)

Review Film: The Classic Jika ada satu film yang pantas menyandang gelar sebagai “buku suci” melodrama Korea, maka The Classic adalah kandidat terkuatnya. Dirilis pada tahun 2003 dan disutradarai oleh Kwak Jae-yong—sutradara yang sama di balik kesuksesan My Sassy Girl—film ini menawarkan pengalaman sinematik yang sangat berbeda. Jika My Sassy Girl adalah tentang cinta yang kacau dan meledak-ledak, The Classic adalah tentang cinta yang hening, puitis, dan melampaui batas waktu. Film ini menjadi batu loncatan yang memantapkan status Son Ye-jin sebagai “Ratu Melodrama” dan memperkenalkan dunia pada keindahan narasi cinta paralel yang dieksekusi dengan sempurna.

Sesuai dengan judulnya, film ini merangkul semua elemen “klasik” dari kisah romansa: surat cinta yang ditulis tangan, hujan deras yang tiba-tiba, kebetulan yang menentukan takdir, dan pengorbanan yang menyayat hati. Ceritanya terbagi menjadi dua garis waktu: masa kini yang dialami oleh Ji-hye, dan masa lalu (tahun 1960-an) yang dialami oleh ibunya, Joo-hee. Ketika Ji-hye menemukan kotak tua berisi surat dan buku harian milik ibunya di loteng, ia mulai menyadari bahwa kisah cinta segitiga yang sedang ia alami di kampus memiliki resonansi aneh dengan kisah cinta pertama ibunya yang tragis puluhan tahun silam. Ini adalah sebuah film tentang bagaimana masa lalu tidak pernah benar-benar mati, melainkan hidup kembali melalui anak-cucunya.

Narasi Paralel yang Terjalin Indah

Review Film: The Classic Kekuatan utama dari The Classic terletak pada struktur penceritaannya yang menjalin dua kisah cinta berbeda generasi menjadi satu kesatuan emosional yang utuh. Transisi antara tahun 2003 dan tahun 1968 dilakukan dengan sangat mulus, sering kali menggunakan objek visual atau suara sebagai jembatan—seperti rintik hujan atau alunan musik. Di masa lalu, kita mengikuti kisah Joo-hee (Son Ye-jin) dan Joon-ha (Cho Seung-woo), sebuah kisah cinta pertama yang murni namun terhalang oleh perbedaan status sosial, persahabatan, dan kekacauan politik. Kisah mereka penuh dengan momen-momen nostalgia, seperti liburan musim panas di desa dan tarian di sekitar api unggun.

Sementara itu, di masa kini, Ji-hye (juga diperankan oleh Son Ye-jin) terjebak dalam cinta sepihak pada Sang-min (Jo In-sung), seorang mahasiswa drama yang juga disukai oleh sahabat Ji-hye sendiri. Meskipun kisah di masa kini terasa lebih ringan dan modern, sutradara Kwak Jae-yong berhasil menunjukkan benang merah emosional yang menghubungkan kedua wanita tersebut. Penonton diajak untuk melihat cerminan takdir: bagaimana keputusan dan penyesalan di masa lalu ibunya, perlahan-lahan membentuk jalan bagi kisah cinta putrinya di masa depan. Struktur ini membuat penonton berinvestasi emosional ganda; kita berharap kebahagiaan bagi Joo-hee di masa lalu (meskipun kita tahu itu mungkin tidak terjadi), sekaligus berharap Ji-hye tidak mengulangi kesedihan ibunya.

Penampilan Ganda Son Ye-jin yang Memukau

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa film ini bertumpu sepenuhnya pada pundak Son Ye-jin. Memerankan dua karakter berbeda dalam satu film—sebagai ibu (Joo-hee) dan anak (Ji-hye)—adalah tantangan besar, namun ia berhasil mengeksekusinya dengan nuansa yang brilian. Sebagai Joo-hee di tahun 60-an, ia tampil anggun, rapuh, namun memiliki keteguhan hati yang kuat di tengah tekanan tradisi. Gaya bicaranya, tatapan matanya, dan bahasa tubuhnya mencerminkan wanita klasik era tersebut. (berita musik)

Sebaliknya, sebagai Ji-hye di masa modern, ia tampil lebih energik, canggung, dan ekspresif. Perbedaan karakter ini sangat halus namun jelas, sehingga penonton tidak pernah bingung siapa yang sedang berada di layar meskipun wajahnya sama. Chemistry yang ia bangun dengan dua lawan main utamanya juga patut diacungi jempol. Bersama Cho Seung-woo (Joon-ha), ia membangun romansa epik yang penuh air mata dan kerinduan mendalam. Sementara bersama Jo In-sung (Sang-min), ia menghadirkan romansa kampus yang manis dan penuh debaran jantung. Cho Seung-woo, khususnya, memberikan penampilan yang sangat kuat sebagai kekasih yang rela mengorbankan segalanya, termasuk penglihatannya, demi wanita yang dicintainya—sebuah adegan reuni di kafe yang menjadi salah satu momen paling menguras air mata dalam sejarah film Korea.

Estetika Visual dan Simfoni Hujan

Secara visual, The Classic adalah sebuah puisi yang dilukis dengan cahaya dan air. Elemen hujan digunakan secara ekstensif bukan hanya sebagai latar cuaca, melainkan sebagai karakter pendukung yang mempertemukan dan memisahkan para tokohnya. Adegan ikonik di mana Sang-min dan Ji-hye berlari menembus hujan hanya dengan berlindung di bawah jaket Sang-min telah menjadi salah satu adegan paling sering diparodikan dan direka ulang dalam budaya pop Korea. Adegan tersebut menangkap esensi romansa muda: kepolosan, kegembiraan, dan keinginan untuk momen itu tidak pernah berakhir.

Sinematografinya juga sangat teliti dalam menangkap keindahan alam pedesaan Korea di masa lalu, dengan warna-warna hangat dan pencahayaan lembut yang memberikan kesan vintage seperti melihat foto lama yang memudar. Musik memainkan peran yang tak kalah vital. Selain penggunaan kembali Canon in D Pachelbel (yang sepertinya menjadi tanda tangan sutradara Kwak), lagu tema “Me to You, You to Me” (Nereul Ege Nan, Naege Neon) oleh Jatanpung menjadi nyawa film ini. Melodi lagu folk tersebut yang sederhana namun nostalgik sangat pas mengiringi perjalanan emosional karakter, seolah-olah liriknya menceritakan apa yang tidak bisa diucapkan oleh bibir mereka.

Takdir dan Lingkaran Waktu Review Film: The Classic

Di balik romansa manisnya, The Classic mengeksplorasi tema berat tentang takdir dan karma. Film ini mengajukan proposisi bahwa cinta sejati memiliki caranya sendiri untuk menemukan jalan pulang, meskipun mungkin butuh waktu satu generasi untuk mencapainya. Plot twist di akhir film yang mengungkapkan koneksi sebenarnya antara Sang-min dan Joon-ha bukan sekadar kejutan murahan, melainkan sebuah resolusi filosofis yang memuaskan. Ia menjawab rasa sakit hati penonton atas tragedi di masa lalu dengan memberikan harapan di masa kini.

Kalung yang berpindah tangan sepanjang film menjadi simbol fisik dari cinta yang abadi. Benda mati tersebut menjadi saksi bisu dari janji yang terucap, perpisahan di stasiun kereta saat perang, dan akhirnya pertemuan kembali. Film ini mengajarkan bahwa kegagalan cinta di masa lalu bukanlah kesia-siaan, melainkan fondasi bagi cinta yang mekar di masa depan. Sebuah pesan yang memberikan kenyamanan bahwa tidak ada air mata yang jatuh percuma dalam urusan hati.

Kesimpulan Review Film: The Classic

Secara keseluruhan, The Classic adalah definisi sesungguhnya dari melodrama yang dibuat dengan benar. Ia tidak malu untuk menjadi sentimentil, namun melakukannya dengan ketulusan dan keindahan artistik yang tinggi sehingga tidak terasa cengeng. Film ini adalah pengingat akan era di mana cinta diekspresikan melalui tatapan mata yang lama dan surat yang ditulis dengan hati-hati, bukan pesan singkat instan.

Bagi penonton baru, The Classic mungkin terasa memiliki tempo yang lambat dibandingkan film romansa modern yang serba cepat. Namun, kesabaran tersebut akan terbayar lunas dengan dampak emosional yang ditinggalkannya. Ini adalah film yang akan membuat Anda merindukan seseorang yang mungkin tidak pernah Anda temui, atau teringat pada cinta pertama yang sudah lama terkubur. Sebuah karya abadi yang membuktikan bahwa meskipun zaman berubah, bahasa hati tetaplah sama. Siapkan hati Anda untuk dihancurkan, lalu disatukan kembali dengan cara yang paling indah.

review film lainnya ….

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *